Dipandang dari sejarah Bahasa
Indonesia termasuk dalam rumpun proto bahasa Austronesia atau Melayu -Polinesia[1]. Bahasa Indonesia berada dalam posisi antara Melayu dan
Australia. Seperti dikatakan Alfred Russel Wallace dalam Malay
Archipelago dan Jan Huyghen van Linschoten dalam Itinerario bahwa
Malaka yang berada di semanjung Sumatera merupakan kawasan berkumpulnya nelayan
dari berbagai Negara. Posisi ini memungkinkan bahasa Indonesia menerima
pengaruh dari luar, sehingga pada perkembangannya, bahasa Indonesia
tidak luput dari pengaruh geografis bahasa serumpun. Setiap kali kontak
antarbahasa lewat penggunanya menimbulkan tarik menarik dan saling mempengaruhi
bahasa. Peminjaman istilah, penyerapan kata, dan penggunaan
kata-kata asing yang belum dibakukan menjadi hal yang biasa. Mulai dari tataran
bunyi, kosa kata hingga struktur kalimat. Selain itu munculnya variasi bahasa
dalam percakapan harian dapat menciptakan kosa kata dan bentuk
bahasa baru serta pergeseran makna.
Fenomena bahasa Indonesia di atas
mengimplikasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka. Bahasa yang
terlahir dari proses penciptaan dan kreativitas pemakaianya. Kreativitas
tersebut dapat menimbulkan dampak positif dan negative terhadap eksistensi
bahasa Indonesia. Di satu sisi keadaan demikian memperkaya khasanah
progesivitas bahasa Indonesia, sementara di sisi lain realita tersebut
mengancam resistensi dan konsistensi bahasa Indonesia. Boleh jadi, keterbukaan
bahasa ini dapat mereduksi identitas bahasa Indonesia. Karakter dan ciri khas
bahasa Indonesia tidak lagi menjadi suatu kebanggaan bagi penggunanya. Bukan
tidak mungkin bahasa Indonesia akan ditinggalkan oleh penggunanya dan lambat
laun akan punah, terjadilah kematian bahasa. Penegasan tersebut didukung dalam
realita sehari-hari bahasa Indonesia ‘hampir’ tersingkir oleh bahasa daerah dan
bahasa asing. Seperti sering kita jumpai tulisan-tulisan pada media cetak dan
elektronik baik berisi iklan, berita, maupun informasi lain yang mana terdapat
penggunaan bahasa-bahasa serapan baik daerah ataupun asing. Dalam komunikasi
pun bahasa Indonesia kurang mendapatkan tempat yang ‘tenang’. Masyarakat lebih
senang dan bahkan bangga menggunakan bahasa campuran (asing) agar terlihat
lebih menarik dan memiliki wawasan luas hingga melupakan bahasa sendiri
(Indonesia). Pada gilirannya berkembanglah masyarakat bilingualist dwibahasawan,
orang yang menggunakan dua bahasa.
Dari persfektif karakter,hal
demikian akan semakin jelas dan tegas mengancam tidak hanya identitas bahasa
Indonesia melainkan pula identitas bangsa, karena bahasa itu menunjukkan
bangsa. Padahal telah kita ketahui bersama bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa
persatuan, sebagaimana tertuang dalam teks sumpah pemuda. Bahasa Indonesia
menunjukan jatidiri bangsa indonesia. Deklarasi sumpah pemuda bukan hanya
sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia belaka tetapi juga tonggak lahirnya
identitas dan karakter bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi bagian
penting dalam perjuangan kemerdekaan bahasa Indonesia.
Semenjak
itu BI mengaIami perkembangan yang cukup pesat. Mulai dari percakapan non-formal
hingga percakapan formal, masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia
dalam bermkomunikasi antardaerah dan antarsuku. Komunikasi antardaerah tersebut
mendorong intensitas pertemuan-pertemuan antar kelompok sehingga lahirlah
oraganisasi dan lembaga yang menggeluti bahasa. Selain itu munculnya
sastrawan-satrawan menunjukkan eksistensi bahasa Indonesia mengalami
perkembangan yang signifikan. Adanya periodesasi angkatan sastrawan mulai
Pujangga Lama, Sastra "Melayu Lama", Angkatan Balai Pustaka, Pujangga
Baru, Angkatan '45, Angkatan 50-an, Angkatan 66-70-an, Dasawarsa 80-an, hingga
Angkatan Reformasi menjadi bukti perhatian besar masyarakat Indonesia terhadap
bahasanya.
Selanjutnya, secara tata bahasa
bahasa Indonesia, dalam proses perjalanannya, bahasa Indonesia mengalami
perkembangan dan penyempurnaan yang cukup dinamis. Mulai penyempurnaan ejaan,
peminjaman istilah asing dan daerah, penyerapan kosa kata hingga penambahan
konsep-konsep gramatikal. Bahkan, kini seiring dengan berkembangnya ilmu teknologi,
bahasa Indonesia banyak meminjam dan menyerap kata-kata asing sebagai
bukti sulitnya mencari padanan kosa kata dalam tata bahasa bahasa Indonesia.
Pemakaian bahasa Indonesia asli (bukan serapan) di bidang teknologi ini semakin
jarang ditemukan. Hal ini berdampak pada lahirnya bahasa Indonesia
‘baru’, artinya bahasa Indonesia yang banyak mengandung unsur-unsur bahasa
asing baik pengucapan, bentuk,maupun konsep gramatikal.
Fenomena
BI yang cukup memprihatinkan ini dapat mereduksi peningkatan
kesadaran berbahasa di kalangan lingkungan pendidikan, seperti dalam
hal pengajaran di sekolah-sekolah yang bertaraf Internasional, yang
manasejumlah sekolah menggunakan bahasa pengantar bahasa Ingris dalam
setiap pelajaran. Bobot pelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulam SBI sangat
kecil, kesempatan siswa berkomunikasi saat proses pembelajaran pun masih terasa
kurang. Misalnya ketika siswa bertanya, menjawab, atau mengugkapkan pendapat
saat diskusi, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Inggris
daripada bahasa Indonesia. Bahkan yang sungguh ironis tatkala guru pengampu
matapelajaran bahasa Indonesia menjelaskan dan memberikan materi pelajaran
bahasa Indonesia dengan mengggunakan bahasa Inggris. Lalu bagaimana dan kemana
nasib BI?
Bahasa akan bertahan dan berkembang
tergantung dari masyarakat penggunanya. Bahasa yang digunakan oleh sekelompok
masyarakat dapat menunjukkan identitas dan karakter masyarakat tersebut. Bahasa
mencerminkan budaya suatu bangsa, karena bahasa merupakan hasil olah pikir
manusia (Safir-Whorf, ). Demkian pula dengan bahasa Indonesia, masyarakat
Indonesia sudah sepatutnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar demi mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia, sekaligus
melestarikan budaya bangsa Indonesia.
[1] Keraf,G.
Linguistik Bandingan Historis. Gramedia. Jakarta. (1984:25)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar